“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa. Apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memnuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada di dalam kebenaran,” (QS. Al-Baqarah : 186)
Sampai saat ini negeri kita masih “dianugerahi” nikmat yang sangat luar biasa yakni krisis multi dimensi. Buruh dan pegawai terkena PHK. Tak sedikit pelajar dan mahasiswa yang putus sekolah dan kuliahnya karena tak mampu membayar biaya. Juga tak sedikit para pejabat yang akhirnya masuk penjara karena terbukti menyalahgunakan uang negara hanya demi menanggulangi krisis yang tengah melanda keluarganya.
Mungkin di antara kita bertanya, mengapa krisis ini disebut sebagai “nikmat”? Karena melalui episode inilah Allah tengah menebarkan jaring-jaring-Nya kepada hamba-hamba-Nya agar mendekatkan diri kepada-Nya demi mendapatkan kenikmatan yang lebih hakiki dan abadi.
Namun sayang, banyak di antara kita yang malah berputus asa. Perlahan-lahan meninggalkan salat. Bersedekah sudah tidak mau lagi. Malah pergi ke dukun, mencuri, melukai, menjual diri, dan berbagai bentuk kejahatan lain yang dianggap sebagai solusi untuk menyelesaikan krisis tersebut.
Dari realitas di atas, tampak bahwa semakin hari kita semakin dililit oleh masalah. Rasanya persoalan begitu menumpuk di pelupuk mata, tiada habisnya. Lantas, apa yang bisa kita lakukan ketika semua itu menimpa? Menjerumuskan diri pada pergaulan bebas yang menjanjikan kenikmatan sesaat? Lari ke pil-pil setan yang membuat kita melupakan sementara waktu masalah keseharian? Bunuh diri? Berharap masalah usai setelah mati?
Semua itu sangat mungkin terlintas dalam benak kita karena pada dasarnya manusia memang mudah untuk berputus asa. Sangat naif apabila pikiran-pikiran semacam itu kita ikuti. Apalagi jika kita menuruti persangkaan untuk berputus asa pada rahmat Allah.
Allah SWT. Memberikan jaminan bahwa setiap permohonan (doa) hamba-Nya akan dikabulkan. Sebagaimana dalam firman-Nya, “Berdoalah kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya.” Ayat ini secara tidak langsung juga menunjukkan bahwa setiap persoalan hidup pasti ada jalan keluarnya, dan salah satu jalan keluar dari berbagai persoalan hidup adalah melalui doa.
Sebuah riwayat yang diceritakan oleh Ibn Husain kiranya patut kita renungkan isinya tentang firman Allah SWT, yang berbunyi:
“Tidakkah hanya Aku tempat bermuaranya semua harapan? Dengan demikian, siapakah yang dapat memutuskannya dari-Ku?
Aku pula yang diharapkan oleh orang-orang yang berharap. Andaikan Aku berkata kepada semua penduduk langit dan bumi, Mintalah kepada-Ku! Aku pun lalu memberikan kepada masing-masing, pikiran apa yang terpikir oleh semuanya. Dan semua yang Kuberikan itu tidak akan mengurangi kekayaan-Ku, meskipun sebesar debu.”
Janji-janji Allah di atas akan terwujud apabila kita melakukan komunikasi dan interaksi dengan Allah. Salah satu bentuk komunikasi dan interaksi dengan Allah tersebut adalah melalui doa.
Doa hakikatnya adalah penuntun kita untuk mengubah diri. Ini menjadi penting karena hidup kita tidaklah hitam-putih tidak pula sestatis laut mati, namun senantiasa bergerak, penuh dengan tantangan dan kebutuhan. Tantangan dan kebutuhan merupakan ujian untuk melihat mana hamba yang tetap pada fitrah kesucian dan mana yang tidak.
Dalam kitab Al-Hikam karya Ibnu Athaillah disebutkan bahwa perubahan yang luar biasa pada diri kita ditentukan pula oleh kehendak dan kemauan kita untuk mengubah diri. Kekuatan seseorang dalam mengubah dirinya dapat menjadi salah datu faktor kunci kesuksesan memburu pertolongan Allah. Oleh karena itu, langkah terpenting yang harus dilakukan adalah menyeimbangkan antara harapan dan kenyataan. Yaitu antara apa yang kita pinta (harapan) pada Allah dengan apa yang kita lakukan (kenyataan). Kita perlu introspeksi diri. Kita harus kritis terhadap segala perilaku kita. Lihatlah kekurangan-kekurangan kita. Pikirkan apa yang mesti kita lakukan agar Allah berkenan mengabulkan doa kita.
Dengan demikian kekuatan doa pada dasarnya juga terkait dengan diri kita. Ibarat tanaman, kekuatan kita untuk mengubah diri adalah bibitnya, sementara itu doa itu sendiri adalah pupuknya. Pupuk akan membuat bibit tumbuh sedemikian subur, berbuah banyak. Pupuk tanpa bibit tidak akan menumbuhkan apa-apa.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa siapa pun yang ingin doanya dikabulkan oleh Allah, janganlah lebih dulu memperhatikan apa yang kita minta. Akan tetapi perhatikan apa yang bisa kita ubah dahulu dari diri kita sendiri. Misalnya, jika saat ini kita tengah dililit utang dan sebelumnya jarang ke masjid, janganlah ragu untuk mulai berubah. Mulailah rajin mengunjungi dan salat di masjid.
Selain sebagai media komunikasi dan interaksi dengan Allah, doa juga menjadi bagian dari upaya mendekatkan diri pada Allah. Allah menyediakan berbagai jalan bagi hamba-Nya agar semakin dekat kepada-Nya.
Sedikitpun, Allah tidak bermaksud zalim kepada hamba-Nya. Allah Mahasuci dari sikap zalim. Oleh karena itu jangan sekali-kali berburuk sangka kepada Allah bahwa Dia menghalangi cita-cita dan keinginan kita. Kalau Allah menganggap kita layak untuk menerima dan memberikan apa yang kita inginkan, pasti Allah akan memberikannya. Allah tidak pernah memberikan suatu amanah, kecuali pasti menyediakan kita sarana untuk menunaikannya.
Ketika kita berdoa, yang paling penting bukanlah ijabahnya doa. Bukan pula datangnya barang yang kita minta, atau lenyapnya kesulitan yang menimpa. Meningkatnya kedekatan diri kita kepada Allah SWT. Justru yang paling penting dari proses doa yang kita lakukan.
Pada akhirnya dalam proses pelaksanaan doa diperlukan interaksi dua arah. Yaitu interaksi kita dengan diri kita melalui introspeksi, dan interaksi kita pada Allah. Kita harus mengkritisi dan mengevaluasi terhadap perilaku kita, sambil kita terus mengikat diri pada Allah. Dengan demikian hakikat doa tidak sekedar mencari kepuasan atas dikabulkannya permintaan kita, tetapi ia berdampak pada kedekatan pada Illahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar