Penulis: Aditya Budiman bin Usman
Segala puji yang disertai pengagungan seagung-agungnya hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perendahan diri kita yang serendah-rendahnyanya hanya kita berikan kepadaNya Robbul ‘Alamin yang telah memilih bagi NabiNya Sahabat-sahabat yang mulia. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam, istri-istri Beliau, Keluarganya, para Sahabatnya dan ummat Beliau yang senantiasa meniti jalannya dengan baik hingga hari kiamat.
Yang dimaksud dengan jahiliyah adalah sesuatu yang dinisbatkan dengan kebodohan/tidak adanya ilmu, yaitu tidak adanya ilmu dari Rosul dan Kitab Suci. Secara khusus yang dimaksud dengan jaman jahiliyah adalah masa dimana sebelum diutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Allah Subhana wa Ta’alaberfirman,
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab [33] : 33)
Maksud jahilyah yang dulu dalam ayat ini adalah sebelum diutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallamkarena sebelum diutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ilmu yang ada telah bercampur dengan kesesatan dan penyimpangan. Karena risalah Nabi yang sebelumnya telah tercampur baur dan rusak. Orang Yahudi pun telah mengubah syari’atnya dan mereka memasukkan banyak hal yang merupakan kekafiran dan kesesatan. Demikian juga Nasrani mereka mengubah Injil dari sebagaimana yang diturunkan ketika pada zaman Nabi Isa ‘Alaihissalam[1].
Salah satu perkara jahilyah yang masih membudaya di tengah-tengah kita berhujjah/berargumen dengan argument atas apa yang ada pada orang-orang sebelumnya tanpa melihat hal itu benar ataupun salah menurut Al Qura’an dan Hadits. Inilah kebiasaan Jahiliyah yang masih membudaya di sekitar kita walaupun telah berlalu masa Jahiliyah berabad-abad lalu.
Allah Subhana wa Ta’ala berfirman menceritakan kisah simbol kekafiran di muka bumi ini yaitu Fir’aun dan Rosul Ulul Azmi Musa ‘Alaihissalam,
قَالَ فَمَنْ رَبُّكُمَا يَا مُوسَى (49) قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى (50) قَالَ فَمَا بَالُ الْقُرُونِ الْأُولَى (51)
“Fir’aun bertanya, “Siapa Robb/Sesembahan kalian berdua wahai Musa?” Musa menjawab, “Robb/Sesembahan kami ialah (Robb/Sesembahan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk yang membedakan satu makhluk dan makhluk lainnya, kemudian memberinya petunjuk/naluri”. Fir’aun berargumen, “Maka bagaimana keadaan/menurut umat-umat terdahulu tentang Robb/Sesembahan kalian”[2]. (QS. Thoohaa [20] : 49-51)
Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan Al Fauzan hafidzahullah mengatakan, “Fir’aun ingin berargumen dengan apa yang menjadi kepercayaan orang-orang yang telah mendahuluinya dalam kekafiran. Ini adalah agrumen yang salah/bathil dan beginilah argument orang jahiliyah. Ini jugalah yang dikatakan kaum Nuh ketika Nabi Nuh ‘Alaihissalam mendakwahkan untuk hanya menyembah Allah dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala, Firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلَا تَتَّقُونَ (23) فَقَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا هَذَا إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُرِيدُ أَنْ يَتَفَضَّلَ عَلَيْكُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَأَنْزَلَ مَلَائِكَةً مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي آَبَائِنَا الْأَوَّلِينَ (24)
“Sungguh telah Kami utus Nuh kepada kaumnya, Nuh mengatakan, “Hai kaumku, sembahlah Allah semata, (karena) sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa (kepadaNya)?” Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya menjawab: “Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu. Dan kalau Allah menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti yaitu untuk Mengesakan Allah dalam peribadatan) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu”. (QS. Al Mukminun [23] : 23-24)
Mereka menolak apa yang didakwahkan Nabi Nuh ‘Alaihissalam dengan alasan/argumen bahwa hal itu tidak benar sebagaimana yang nenek moyang mereka (yang kafir) percaya sebagai sebuah kebenaran. Sedangkan yang didakwahkan Nabi Nuh ‘Alaihissalam adalah sebuah kebathilan karena menyelisihi apa yang ada pada nenek moyang mereka.
Sedangkan orang kafir Quroisy mengatakan sebagaimana yang Allah Subhana wa Ta’ala abadikan dalam Al Qur’an,
وَعَجِبُوا أَنْ جَاءَهُمْ مُنْذِرٌ مِنْهُمْ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ (4) أَجَعَلَ الْآَلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ (5) وَانْطَلَقَ الْمَلَأُ مِنْهُمْ أَنِ امْشُوا وَاصْبِرُوا عَلَى آَلِهَتِكُمْ إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ يُرَادُ (6) مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ الْآَخِرَةِ إِنْ هَذَا إِلَّا اخْتِلَاقٌ (7)
“Dan mereka (orang-orang kafir Quroisy) heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) dari kalangan mereka. Kemudian orang-orang kafir itu berkata, “Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta”. Mengapa ia menjadikan sesembahan-sesembahan itu menjadi Sesembahan Yang Satu saja ? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata), “Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) sesembahan-sesembahanmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang tidak dikehendaki. Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir ini (yaitu Agama Islam yang dibawa Nabi ‘Isa ‘Alaihissalam yang telah mereka ubah-ubah), tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan. (QS. Shood [38] : 4-7)
Orang-orang kafir Quroisy menilai bahwa ajaran yang dibawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah sebuah kedustaan, mengapa ? Karena ajaran yang beliau bawa bertentangan dengan apa yang diajarkan orang-orang terdahulu mereka yaitu peribadatan kepada berhala dan tidak kembali ke ajaran nenek moyang mereka yaitu Nabi Ibrahim dan Ismai’l (yang merupakan ajaran tauhid) namun mereka malah kembali kepada ajaran orang-orang yang baru mendahului mereka yaitu bapak dan kakek-kakek mereka di Mekkah dari kalangan kafir Quroisy. Maka ini adalah jalan beragama kekafiran dan merupakan cara beragamanya kaum jahiliyah.
Padahal yang benar adalah mengembalikan dan meninjau kepada ajaran para rosul dan membandingkan apa yang diajarkan Rosul dan apa yang ada pada bapak dan kakek mereka. Dengan demikian jelaslah yang mana yang merupakan kebenaran dan kebathilan. Adapun menutup pintu pandangan dengan apa yang ada pada bapak dan kakek mereka dengan mengatakan “Cara beragama yang seperti ini tidak pernah ada dipraktekkan bapak kami” dan tidak mau menerima semua perkara yang menyelisihi apa yang diajarkan oleh bapak dan kakek maka yang demikian bukanlah cara beragamanya orang yang cerdas”[3].
Demikianlah sekilas tentang bagaimana cara berhujjah/berargumen orang-orang jahiliyah, mudah-mudahan kita tidak termasuk orang-orang yang masih mewarisi pandangan beragamanya orang jahiliyah, amin ya Allah, ya Robbul ‘Alamin.
—
[1] Lihat Syarh Masail Jahiliyah oleh Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan Al Fauzan Hafidzahullah hal. 8-9 terbitan Darul Bashiroh, Iskandariyah.
[2] Lihat Tafsir Jalalain Li Imamaini Al Jalilaini Muhammad bin Ahmad Al Mahalli dan Abdurrahman bin Abi Bakr As Suyuthi dengan ta’liq dari Syaikh Shofiyurrohman Al Mubarokfuri hafidzahullah hal. 325 cet. Darus Salam, Riyadh, KSA.
[3] Demikian yang disampaikan Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan Al Fauzan dalam Syarh Masa’il Jahiliyah hal. 42-43 (secara ringkas) terbitan Darul Bashiroh, Iskandariyah.
—
Sumber referensi : Artikel Muslim.Or.Id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar