Oleh : Ustadz Kharisman
Abu Bakr as-Shiddiq pernah sangat marah dan
hendak memutuskan pemberian bantuan kepada sepupunya, Misthah bin Utsatsah.
Sebelumnya, sudah menjadi kebiasaan Abu Bakr memberi nafkah kepada Misthah yang
miskin. Namun, suatu ketika pada saat tersebar berita dusta (fitnah) tentang
‘Aisyah – putri beliau- Misthah punya andil dalam menukil kabar dusta tersebut. Ketika Abu Bakr sempat bersumpah
untuk tidak akan memberi bantuan lagi kepada Misthah tersebut, turun firman
Allah yang artinya “Janganlah seseorang
yang memiliki kelebihan dan kelapangan rezeki bersumpah untuk tidak memberi
karib kerabat dan orang miskin serta muhajirin di jalan Allah….” (Q.S
anNuur:22). Hendaknya kalian memaafkan dan melupakan kesalahannya. Tidakkah
kalian ingin Allah mengampuni kalian? Dan sesungguhnya Allah adalah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S anNuur:22)
Ketika dibacakan ayat itu Abu Bakr as-Shiddiq kemudian berkata: Demi Allah
aku sangat berharap Allah mengampuniku. Karena itu, Abu Bakr memaafkan Misthah dan terus melanjutkan pemberian bantuan kepada sepupunya yang miskin sekaligus termasuk dari kalangan Muhajirin tersebut. Abu Bakr memaafkan Misthah karena ia mengharapkan ampunan Allah, dan memang Allah menjanjikan ampunan kepada orang-orang yang memaafkan. Kisah itu disebutkan dalam Shahih alBukhari. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala meridlai 2 Sahabat Nabi yang mulia tersebut, Abu Bakr as-Shiddiq –manusia terbaik setelah Nabi-, dan Misthah bin Utsatsah –seorang Muhajirin, bahkan ikut dalam perang Badr-. Misthah akibat perbuatannya telah dikenai hukum had. Had tersebut menyebabkan ia bersih dari dosa itu. Jangan sampai terbetik dalam benak kita celaan terhadap Misthah dan menganggap kita lebih baik dari beliau. Demi Allah, jikalau kita berinfaq emas, tidaklah bisa menandingi infaq yang dikeluarkan Misthah sebesar dua genggam tangan, atau bahkan setengahnya.
aku sangat berharap Allah mengampuniku. Karena itu, Abu Bakr memaafkan Misthah dan terus melanjutkan pemberian bantuan kepada sepupunya yang miskin sekaligus termasuk dari kalangan Muhajirin tersebut. Abu Bakr memaafkan Misthah karena ia mengharapkan ampunan Allah, dan memang Allah menjanjikan ampunan kepada orang-orang yang memaafkan. Kisah itu disebutkan dalam Shahih alBukhari. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala meridlai 2 Sahabat Nabi yang mulia tersebut, Abu Bakr as-Shiddiq –manusia terbaik setelah Nabi-, dan Misthah bin Utsatsah –seorang Muhajirin, bahkan ikut dalam perang Badr-. Misthah akibat perbuatannya telah dikenai hukum had. Had tersebut menyebabkan ia bersih dari dosa itu. Jangan sampai terbetik dalam benak kita celaan terhadap Misthah dan menganggap kita lebih baik dari beliau. Demi Allah, jikalau kita berinfaq emas, tidaklah bisa menandingi infaq yang dikeluarkan Misthah sebesar dua genggam tangan, atau bahkan setengahnya.
Kisah itu juga menunjukkan agungnya akhlak Abu Bakr as-Shiddiq.
Beliau adalah orang yang bersegera memenuhi panggilan Allah untuk memaafkan.
Beliau adalah orang yang bersegera tunduk dengan perintah Allah. Beliau
tundukkan hawa nafsu enggan memaafkan karena telah tersakiti dan dikhianati,
semata-mata mengharapkan ampunan Allah.
Pemaafan
yang Memberikan Perbaikan
Tidak
selalu pemberian maaf adalah terpuji. Pemberian maaf yang menghasilkan
perbaikanlah yang terpuji. Yaitu, jika diberi maaf, orang tersebut akan berubah
menjadi baik dan meninggalkan keburukannya. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala
berfirman yang artinya Barangsiapa yang memaafkan
dan menghasilkan perbaikan, maka pahalanya di sisi Allah ….(Q.S asy-Syuuro:40) Syaikh
Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menyatakan: Allah mempersyaratkan dalam
pemaafan itu adalah adanya perbaikan. Hal itu menunjukkan bahwa jika sang
pelaku tidak layak dimaafkan, dan maslahat syar’i mengharuskan pemberian
hukuman, maka dalam hal semacam itu tidak diperintah untuk dimaafkan (Tafsir
as-Sa’di 1/760)
Contoh
: terjadi pembunuhan. Sang pelaku pembunuhan ini dikenal sebagai seseorang yang
sudah sering membunuh dan terlihat tidak jera atas perbuatannya. Maka, orang
semacam ini tidak berhak untuk dimaafkan, dan sebaiknya ditegakkan hukum
qishash. Karena, jika dimaafkan, dikhawatirkan akan terjadi pembunuhan
berikutnya. Contoh lain: kecelakaan lalu lintas. Pelakunya dikenal sebagai
orang yang selalu berhati-hati. Namun, pada waktu itu kecelakaan yang terjadi
bukan karena kesengajaannya. Orang semacam ini sangat layak untuk mendapatkan
maaf. Berbeda dengan orang yang dikenal ugal-ugalan di jalan. Sering mengakibatkan
korban. Orang semacam ini perlu diberi pelajaran hukuman yang memberi efek
jera, tidak harus selalu dimaafkan. Karena pemaafan yang diberikan padanya
bukannya akan menghasilkan perbaikan, tapi justru bahaya bagi orang lain.
(dinukil
dari Buku ‘Sukses Dunia Akhirat dengan Istighfar dan Taubat’ hal 104-107 karya
Abu Utsman Kharisman)
Sumber : http://www.salafy.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar